Minggu, 28 Desember 2014

JOURNAL REVIEW



KUALITAS PRODUKSI TANAMAN ORGANIK DAN
PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN


Muh. Akhsan Akib
Email: akhsanbagus@yahoo.co.id


Abstrak
            Pangan merupakan kebutuhan hidup manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Perkembangan jumlah penduduk membuat pangan yang semula hanya dicari dari hutan, berupa tanaman atau hewan, semakin lama semakin tidak cukup. Revolusi hijau menghipnotis pelaku pengusaha pertanian untuk terus meningkatkan produksi, namun dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan, revolusi hijau mendapat kritikan dari pemerhati lingkungan. Tetapi para pendukung revolusi hijau berpendapat bahwa kerusakan dipandang bukan karena revolusi hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Perdebatan tersebut tidak dapat dihindari karena keduanya mempnyai landasan yang berbeda, sehingga untuk menyatukannya disarankan suatu program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU RAMAH LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian utama peningkatan kualitas produk pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai model antara lain: (1). Sistem pertanian organik (2). Integrated farming atau sistem agroforestri. (3). Pengendalian hama terpadu, dan (4). LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Salah satu faktor lingkungan yang sangat mendukung keberlajutan suatu produk pertanian adalah lahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai penggunaan lahan secara berkelanjutan sebagai bagian dari pertanian berkelanjutan antara lain: Perbaikan pola tanam, melakukan pemupukan berimbang, penggunaan pupuk organik. penggunaan pertisida nabati dan agen hayati, melestarikan biologi tana, penerapan metode S.R.I. (System of Rice Intensification, dan perbaikan sistem pengolahan tanah. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa produk buah-buahan yang berasal dari pertanian organik memiliki kualitas yang lebih baik dari pertanian konvensional.
Katakunci: lahan berkelanjutan, agen hayati, pupuk organik, biologi tanah, S.R.I. kualitas buah. 
Pendahuluan
            Pangan merupakan kebutuhan hidup manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Perkembangan jumlah penduduk membuat pangan yang semula hanya dicari dari hutan, berupa tanaman atau hewan, semakin lama semakin tidak cukup, Maltus (1766-1834) cis Thomson (2011) mengatakan bahwa jika tidak ada pengekangan, maka kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih cepat daripada pertambahan bahan pangan. Perkembangan jumlah penduduk akan mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan bahan pangan akan mengikuti deret hitung, Sehingga manusia harus melakukan budidaya tanaman atau hewan untuk memenuhi ketersediaan pangan.
            Berbagai upaya yang dilakukan dalam budidaya tanaman agar kebutuhan pangan tercukupi tanpa memperhatikan dampak lingkungan, antara lain: pembukaan lahan secara  berpindah-pindah dengan system bakar (shifting cultivation, slash and burn agriculture, swidden agricultur) (Osman et al, 2013), penggunaan benih unggul (Dongyang et al, 2014), penggunaan pupuk  anorganik (Zhou et al, 2010), penggunaan perstisida sintetik (Christine et al, 2010), penggunaan alat-alat mekanisasi pertanian (Teodora, 2014), dan penerapan pertanaman monokultur (Wang et al. 2012).
            Peningkatkan produksi pangan tercapai dalam pelaksanaan suatu program yang sangat terkenal dengan nama “REVOLUSI HIJAU”, revolusi hijau mengubah status Indonesia dari Negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi Negara pengekspor beras terbesar di dunia (Maruyama  et al, 2014) dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1983 (Mariyono. 2009).
            Revolusi hijau menghipnotis pelaku pengusaha pertanian untuk terus meningkatkan produksi, namun dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan, revolusi hijau mendapat kritikan dari pemerhati lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah (Saha, 2013). Tetapi para pendukung revolusi hijau berpendapat bahwa kerusakan dipandang bukan karena revolusi hijau tetapi karena akses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Perdebatan tersebut tidak dapat dihindari karena keduanya mempunyai landasan yang berbeda, sehingga untuk menyatukannya disarankan suatu program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU RAMAH LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian utama peningkatan kualitas produk pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan.
Sistem Pertanian Berkelanjutan.
            Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan menggunakan berbagai model antara lain: (1). Sistem pertanian organik (Simin dan Jankovic, 2014) yang merupakan sistem produksi pertanian yang menjadikan bahan organik sebagai faktor utama dalam proses produksi usahatani; (2). Integrated farming (Desai et al, 2013) atau sistem agroforestri (Djoko et al. 2013) terbentuk atas tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, dan peternakan. Kombinasi komponen – komponen tersebut menghasilkan bentuk agrisilvikultur (kehutanan + pertanian), silvopastura (kehutanan + peternakan), dan agrosilvopastura (kehutanan + pertanian + peternakan) (Buhari dan Febryano. 2009); (3). Pengendalian hama terpadu (Integrated pest management) yang merupakan suatu teknologi pengendalian hama yang bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas pengendalian secara biologi dan budaya (Molly et al, 2011); (4). LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) adalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia setempat/lokal, layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, sesuai dengan budaya, adil secara sosial, dan input luar hanya sebagai pelengkap (Steinmaier dan Ngoliya. 2001).

Upaya Mencapai Penggunaan Lahan Berkelanjutan.
            Salahsatu faktor yang sangat menentukan kegitan pertanian berkelanjutan adalah penggunaan lahan, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujutkan penggunaan lahan yang berkelanjutan, antara lain:
Perbaikan Pola Tanam
                Pola tanam merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Pola tanam diterapkan dengan tujuan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan. Namun yang penting persyaratan tumbuh antara kedua tanaman atau lebih terhadap lahan hendaklah mendekati kesamaan.
            Pola tanam dalam kegitan pertanian terbagi dua, yaitu: Pertanian dengan pola tanam monokultur, yang menanam tanaman sejenis dengan tujuan penanaman  meningkatkan produksi satu jenis komoditi pertanian; dan pertanian dengan pola tanam polikultur, yang menanam lebih banyak jenis tanaman  pada satu bidang lahan yang tersusun dan terencana dengan menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik, dengan pemilihan tanaman yang tepat, sistem ini dapat memberikan beberapa keuntungan, salahsatunya menambah kesuburan tanah.
            Omid et al (2014) menyatakan bahwa sistem tumpangsari legum memainkan peran penting dalam pemanfaatan sumber daya yang efisien. Sistem tanam tumpangsari legum-cereal lebih produktif dan menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam soliter (monokultur) . Ketersedian dayadukung pertumbuhan seperti cahaya, air dan nutrisi, diserap dengan baik dan dikonversi menjadi biomassa oleh tanaman  pada pola tanam tumpangsari sebagai akibat dari perbedaan kemampuan kompetitif  pemanfaatan faktor pertumbuhan antar komponen tanaman intercrop.
Melakukan Pemupukan Berimbang
            Pemupukan berimbang merupakan pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan.  Jenis hara tanah yang sudah mencapai kadar optimum atau status tinggi, tidak perlu ditambahkan lagi, kecuali sebagai pengganti hara yang terangkut sewaktu panen.
            Hasil penelitian Rozas et al (2004) menunjukkan bahwa pencucian NO-3-N akan menjadi mekanisme kehilangan N yang penting dalam sistem tanam jagung NT (No-Tillage) di Propinsi Buenos Aires. Produksi biji, serapan N, dan NUE (efesiensi penggunaan N) meningkat, ketika N diaplikasikan sebelum kebutuhan tanaman mencapai maksimal, karena menekan pencucian N dan kehilangan dalam bentuk gas, suatu aspek penting dari sudut pandang (standpoint) lingkungan dan ekonomi.

Penggunaan pupuk organik.
            Pupuk organik merupakan pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan, organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).
            Hasil penelitian Taguiling (2013) menunjukkan bahwa, pengayaan pupuk kompos sisa tanaman dengan biomassa hijau secara bertahap, khususnya yang dibuat pada perbandingan  3:3 dan 3:2 (kombinasi sisa tanaman - biomassa hijau) memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kandungan  nftrogen, Fosfor, kalium, persentase bahan organik, dan pH pada pupuk kompos. Hasil lebih lanjut mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk kompos sisa tanaman yang diperkaya dengan bimassa hijau, secara signifikan mendorong pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman, jumlah daun, ukuran daun, jumlah tunas, dan berat total biomassa tanaman segar.
            Turmuktini et al. (2012) mengemukakan bahwa produksi padi di Indonesia didominasi dari sistem genangan atau penggenangan permanen. Intensifikasi sistem genangan tanah sawah tidak hanya mengurangi kekuatan sifat biologi tanah secara signifikan, tetapi juga membatasi pertumbuhan akar. Berbagai studi lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar tanah sawah di Indonesia memiliki kandungan organik rendah (<2%). Manajemen kesehatan tanah sawah sangat diperlukan untuk memulihkan, meningkatkan dan mempertahankan bahan organik tanah sebagai jantung ekosistem tanah. SOBARI (system of rice intensification aerobik berbasis organik) sebagai teknologi hemat air dikombinasikan dengan kompos jerami berbasis teknologi pupuk memiliki dua tujuan utama: (1) untuk memulihkan atau mengembalikan, memperbaiki dan menjaga kesehatan dan kualitas tanah sawah, dan (2) untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan (air yang efisien dan penggunaan pupuk). Hasil penelitian lapangan dengan menggunakan beberapa varietas padi di Indonesia, bahwa teknologi hemat air yang dikombinasikan dengan pupuk organik (kompos jerami) dapat menghasilkan hasil gabah sekitar 8-12 ton.ha-1 (rata-rata peningkatan sekitar 50-150% dibandingkan dengan budidaya padi anaerob), irigasi air berkurang sekitar  30- 50%, dan  pupuk anorganik berkurang sekitar 25%. Hasil beras yang tinggi sangat berkorelasi dengan meningkatnya zona akar sekitar 4-10 kali, jumlah anakan produktif  berkisar 60-80 anakan, jumlah malai, panjang malai dan jumlah gabah per malai meningkat karena  peningkatan keanekaragaman hayati tanah. Penggunaan jerami atau kompos jerami ke tanah sawah dalam waktu tiga tahun  diharapkan dapat memulihkan dan meningkatkan kesehatan tanah sawah yang rusak secara signifikan.
Penggunaan Pertisida Nabati dan Agen Hayati.
            Pengendalian hayati ramah lingkungan merupakan pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan bagian-bagian tanaman (pestisida nabati) seperti  rimpang jahe, daun mimba, buah cabe, dan daun sambiloto;  dan musuh-musuh alami dari hama (agen pengendali biologi) seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami.
            Spyrou et al (2009) melakukan studi laboratorium dan lapangan untuk menyelidiki pengaruh dari pestisida sintetis (metham natrium [MS], natrium tetrathiocarbonate [SoTe], dan fosthiazate) dan pestisida nabati (azadirachtin, Quillaja, dan Pulverized Melia azedarach fruits [PMF]) terhadap komunitas mikroba tanah dengan menggunakan analisis asam lemak fosfolipid (PLFA). Disimpulkan bahwa secara umum (baik dilaboratorium maupun dilapangan), pestisida nabati, pada dosis yang dianjurkan, tidak mengubah struktur komunitas mikroba tanah dibandingkan dengan pestisidah sintetis yang menyebabkan perubahan yang signifikan.
            Charilaos (2009), juga mengatakan input bahan organik (jaringan segar Brassica, kompos limbah  rumah tangga dan kompos kotoran sapi) secara signifikan menekan tingkat serangan penyakit soil-borne (diukur dari peningkatan bobot segar root) dan/atau meningkatkan hasil buah tomat. Aktivitas biologis tanah juga meningkat dengan meningkatnya level input bahan organik dan ada korelasi positif yang signifikan antara aktivitas biologis tanah, berat segar akar dan produksi buah. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu mekanisme pengendalian penyakit soil-borne adalah melalui input bahan organik yang dapat meningkatkan kompetisi biota tanah.
Melestarikan Biologi Tanah.
            Cacing tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Cacing tanah akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran (Rahmawaty, 2004). Muys dan Granval (1997) mengatakan bahwa cacing tanah dapat dipertimbangkan sebagai indikator yang tepat bagi penggunaan lahan dan kesuburan tanah, serta indikator kualitas lahan
            Laossi  et al (2010) melakukan  percobaan mikrokosmos rumah kaca, untuk mengetahui respon tanaman (Veronica persica, Trifolium dubium dan Poa annua) terhadap dua spesies cacing tanah (dikombinasikan atau tidak) yang tergabung dalam kelompok yang berbeda (Aporrectodea caliginosa spesies endogeic, dan Lumbricus terrestris spesies anecic) dan diukur dalam akumulasi biomassa. Respon ini dibandingkan pada dua jenis perlakuan tanah (kaya unsur hara dan miskin unsur hara) dan dua jenis perlakuan pemupukan mineral (dengan pemupukan dan tanpa pemupukan). Akhir penelitian menunjukkan, bahwa ditemukan interaksi yang signifikan antara cacing tanah anecic dan cacing tanah endogeic, dan interaksi ini tidak tergantung pada jenis tanah. Sebuah gambaran  bahwa cacing tanah sebagian besar meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui peningkatan mineralisasi, dan efek cacing tanah menurun pada tanah kaya nutrisi atau dengan pemupukan mineral.
Penerapan Metode S.R.I. (System of Rice Intensification).
            Budidaya tanaman padi organik yang dilakukan secara intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan air merupakan sistem budidaya metode SRI. Turmel (2011) mengatakan bahwa keunggulan produksi  SRI dibandingkan sistem konvensional sangat besar, dan belum dipahami secara bersama dan telah menjadi subyek perdebatan yang cukup besar, karena kurangnya pemahaman mechanistic. Suatu hasil meta-analisis data dari 72 penelitian lapangan yang menbandingkan SRI  dengan sistem konvensional, menunjukkan bahwa produksi meningkat secara signifikan (P <0,0001) ketika  SRI diterapkan pada tanah yang mengandung pelapukan bahan organik dan kaya akan zat besi dan aluminium oksida (akrisol dan Ferralsols), perbedaan hasil antara produksi padi konvesional dan SRI tampaknya berhubungan dengan sifat-sifat tanah yang terkait dengan pelapukan. Hal ini akan membantu menyelesaikan perdebatan tentang nilai SRI dan memungkinkan penelitian yang akan datang untuk memahami proses biologi dan kimia tanah pada manajemen SRI.

Sistem Pengolahan Tanah
            Sistem pengolahan tanah pertanian dapat dibagi menjadi enam jenis pengolahan, yaitu: (1). Pengolahan tanah tereduksi, meninggalkan antara 15 hingga 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian; (2). Pengolahan tanah intensif, meninggalkan kurang dari 15% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian. (3). Pengolahan tanah konservasi, meninggalkan setidaknya 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian. (4).Pengolahan tanah berlajur (strip-tillage) hanya membajak lajur yang akan ditanam, bagian di antara lajur dibiarkan. (5). Pengolahan tanah rotasi, hanya mengolah tanah secara periodik, yaitu setiap dua tahun sekali atau tiga tahun sekali. (6). Tanpa pengolahan tanah, berarti sama sekali tidak menggunakan bajak. Residu tanaman yang ditanam pada periode sebelumnya dibiarkan mongering (Danial dan Paul, 2000).
            Lebih lanjut Danial dan Paul (2000), mengemukakan bahwa di Amerika Serikat sejak tahun 1997, sistem pengolahan tanah konservasi semakin banyak digunakan karena menghemat banyak waktu, energi, tenaga kerja, dan biaya. Selain itu, pengolahan tanah konservasi berarti semakin sedikit mesin pertanian yang bergerak di atas lahan pertanian sehingga mencegah pemadatan tanah.
            Buman et al (2005), merangkum hasil penelitian skala lapangannya yang dilakukan pada 12 Pusat Situs Excellence di tujuh negara dari tahun 1998 sampai 2002. Penelitian ini mengevaluasi produksi kapas pada lahan tanpa olah tanah, pengolahan strip, pengolahan minimum dan pengolahan tanah konvensional. Perbedaan antara sistem pengolahan dalam sebuah situs tidak menunjukkan efek yang signifikan pada indikator kualitas tanah, dan  menyimpulkan agar para petani, konsultan tanaman, dan yang lainnya, harus hati-hati mempertimbangkan keuntungan secara keseluruhan dan tidak hanya keuntungan produk panen ketika mengevaluasi praktek persiapan lahan alternatif.

Kualitas Produk Pertanian Ramah Lingkungan
            Ditinjau dari sisi kualitas, produk pertanian modern sekarang ini memiliki kualitas yang rendah, hal ini akibat penggunaan pestisida sintetik dan pupuk anorganik yang tidak terkontrol sehingga residu produk sintetik mencemari hasil panen pertanian yang memberi dampak negative terhadap kesehatan. Beberapa peneliti mengukapkan bahwa produk pertanian organik memiliki kualitas yang lebih baik dibanding kualitas produk pertanian konvensional.
            Szafirowska dan Elkner (2008) melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh kultivar dan sistem pertanian yang berkembang (organik vs konvensional) terhadap  produksi, morfologi buah dan kandungan antioksidan buah paprika (Capsicum annum L.) Hasil penelitian menunjukkan respon yang baik pada sistem budidaya tanaman paprika secara organik, harga buah lebih tinggi, karakter morfologi lebih baik dan kandungan vitamin C, total beta-carotene dan polyphenol lebih tinggi dibanding buah paprika yang berasal dari sistem pertanian konvensional.
            Reganold et al (2010) juga menyimpulkan hasil temuannya bahwa pertanian strawberry organik menghasilkan kualitas buah yang lebih tinggi dan memiliki tanah yang lebih berkualitas, yang memungkinkan  kemampuan fungsional mikroba  dan ketahanan terhadap stres lebih besar. Demikian pula Wang et al (2008) yang meneliti pengaruh praktek budidaya terhadap kualitas buah dan kapasitas antioksidan pada highbush blueberry var. Bluecrop (Vaccinium corymbosum L.) di New Jersey. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa buah blueberry yang berasal dari praktek pertanian organik menghasilkan gula (fruktosa dan glukosa), asam malat, jumlah fenolat, jumlah anthocyanin, dan aktivitas antioksidan (ORAC) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan buah dari praktek pertanian konvensional. Zoran et al (2014) juga mengatakan perbedaan yang signifikan antara produk tomat yang ditanam dalam sistem organik. Tomat organik mengandung carotenoid, mineral (P, K, Mg, Ca) yang lebih tinggi, mengandung sangat sedikit logam berat (Pb, Zn, Cu, Ni), mengandung lebih sedikit nitrat (sekitar 30-40% lebih sedikit), dan tidak mengandung residu pestisida.
            Virginia (2001) melakukan survey leteratur mengenai kandungan kualitas gizi buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian organik versus konvensional, dan menyimpulkan bahwa  tanaman organik mengandung vitamin C, zat besi, magnesium, dan fosfor signifikan lebih tinggi, dan mengandung nitrat secara signifikan lebih rendah dari tanaman konvensional. Ada pula kecenderungan yang tidak signifikan menunjukkan kandungan protein lebih rendah tetapi kualitas dan kandungan mineral gizi signifikan lebih baik dan lebih tinggi, dengan jumlah beberapa logam berat yang lebih rendah pada tanaman organik dibanding pada tanaman konvensional. Chen (2005) menegaskan bahwa produk organik berpotensi lebih menguntungkan, dan jelas tidak lebih berbahaya dibandingkan produk konvensional untuk kesehatan konsumen.

Kesimpulan
            Peningkatan produksi dari sisi kuantitas telah berhasil dicapai dalam program revolusi hijau, namun meninbulkan efek kerusakan lingkungan.  Dibutuhkan suatu  program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU RAMAH LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian utama peningkatan kualitas produk pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai model antara lain: (1). sistem pertanian organik (2). Integrated farming atau sistem agroforestri. (3). Pengendalian hama terpadu, dan (4). LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Salah satu faktor lingkungan yang sangat mendukung keberlajutan suatu produk pertanian adalah lahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai penggunaan lahan secara berkelanjutan sebagai bagian dari pertanian berkelanjutan antara lain: perbaikan pola tanam, melakukan pemupukan berimbang, penggunaan pupuk organik. penggunaan pertisida nabati dan agen hayati, melestarikan biologi tanah, penerapan metode S.R.I. (System of Rice Intensification) dan sistem pengolahan tanah. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa produk buah-buahan yang berasal dari pertanian organik memiliki kualitas yang lebih baik dari pertanian konvensional dan tidak berbahaya untuk kesehatan konsumen.  


Daftar Pustaka

1.      Bukhari and I. G. Febryano. 2009. Design of Agroforestry in Critical Land: Case Study in Indrapuri Subdistrict, Aceh Besar District. Journal Perennial,Vol. 6(1) : 53-59.

2.      Buman, R A., Alesii, B A., Bradley, J F., Hatfield, J L., Karlen, D L. 2005. Profit and yield of tillage in cotton production systems. Journal of Soil and Water Conservation. Vol.60(5): 235-242.
3.      Charilaos, G., Markelou, E., Theodoropoulou, A., Toufexi, E., Hodson, R., Peter S., Robert S. 2009. Effect Of Soil Amendments And Biological Control Agents (Bcas) On Soil-Borne Root Diseases Caused By Pyrenochaeta Lycopersici And Verticillium Albo-Atrum In Organic Greenhouse Tomato Production Systems. European Journal of Plant Pathology. Vol. 123(4) : 387-400. DOI: 10.1007/s10658-008-9376-0.
4.      Chen M. C. 2005. Organic Fruits and Vegetables: Potential Health Benefits and Risks. Journal Nutrition Noteworthy, Vol. 7(1): 1-5.
5.      Christine A. B., X. Yingen., M. C. Cara M., S. Arthur W., H. Rebecca H. 2010. Choosing Organic Pesticides over Synthetic Pesticides May Not Effectively Mitigate Environmental Risk in Soybeans: e11250. Jur. PloS One. Vol. 5(6):1-7. DOI: 10.1371/journal.pone.0011250.
6.      Daniel. W And Paul. J. 2000. Conservation Tillage In The United States: An Overview. International Symposium On Conservation Tillage , January 24-27, 2000. Mazatlan, Mexico.

7.      Djoko. P., S. S. Makmur., B. Sri. 2013. Solar Radiation in Agroforestry System. Journal of Agricultural Science and Technology. Vol. 3(8): 551-556.

8.      Dongyang, L., T.  Wenbang.,  X. Zhijian., L. Hai., C. Liyun. 2014. Solutions to Insecurity Problems in Seed Production of Two-line Hybrid Rice. Journal Agricultural Science & Technology. Vol. 15(7): 1160-1166.
9.      Ganesh R. N, Avinash B and Suman M. 2011. Effect of Chemical Fertilizers on Water Quality of Irrigation Reservoir (Kaliasote Reservoir) of Bhopal (M.P.). Journal Current World Environment Vol. 6(1): 169-172.
10.  Laossi, K., G. Amandine., N. D. Cristina.,B. Manuel., B. Sébastien. 2010. Earthworm Effects On Plant Growth Do Not Necessarily Decrease With Soil Fertility. Journal Plant and Soil . Vol. 328 (1-2) : 109-118.
11.  Marais, A. M. Hardy, M. Booyse, and A. Botha. 2012. Effects of Monoculture, Crop Rotation, and Soil Moisture Content on Selected Soil Physicochemical and Microbial Parameters in Wheat Fields. Journal Applied and Environmental Soil Science Vol. 2012 (2012): 13 pages. DOI: 10.1155/2012/593623.
12.  Mariyono. J. 2009. Technological and Institutional Changes in the Indonesian Rice Sector: From Intensification to Sustainable Revitalization.  Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 6(2): 125:144.
13.  Maruyama, A., Y. Haneishi., S. E. Okello., G. Asea., T. Tsuboi., M. Takagaki., M. Kikuchi. 2014.  Rice Green Revolution and Climatic Change in East Africa: An Approach from the Technical Efficiency of Rainfed Rice Farmers in Uganda. Agricultural Sciences (2014) 5: 330-341.

14.  Molly, P., D. Nicole., F. Rebecca E. 2011. Assessing Integrated Pest Management Adoption: Measurement Problems and Policy Implications. Environmental Management Jurnal. Vol. 48(5) : 1013-1023. DOI: 10.1007/s00267-011-9737-x

15.  Muys, B. and P.H. Granval. 1997. Earthworms As Bio-Indicators Of Forest Site Quality. Journal of soil Biol. Biochem. 29:323-328. DOI:10.1016/S0038-0717(96)00047-8.

16.  Omid. P., K. Motahare., D. Sima., R. M. Mahdi. 2014.Evaluation Of Intercropping System On Weed Management, Forage Quality, Available Of Nitrogen and Resource Use. International Journal of Agriculture and Crop Sciences. Vol.7(13):1298-1303.

17.  Osman, K. S, M. Jashimuddin, S. M. Sirajul Haque . Sohag Miah. 2013. Effect of Shifting Cultivation On Soil Physical and Chemical Properties In Bandarban Hill District, Bangladesh. Journal of Forestry Research, Vol. 24(4): 791-795. DOI 10.1007/s11676-013-0368-3.
18.  Reganold, J P., Preston K. A., Jennifer R. R., Lynne C-B., Christopher W. S., Richard A. J., Carolyn F. R., Neal M. D., Jizhong Z. 2010. Fruit and Soil Quality of Organic and Conventional Strawberry Agroecosystems. Jurnal  PLoS ONE Vol. 5(9). e12346. DOI : 10.1371/journal.pone.0012346.

19.  Rozas. S., Hernán R., Echeverría, Hernán E.,Barbieri, Pablo A. 2004. Nitrogen Balance as Affected by Application Time and Nitrogen Fertilizer Rate in Irrigated No-Tillage Maize. Agronomy Journal. Vol. 96(6): 1622-1631. 

20.  Saha, M. 2013. The State, Scientists, and Staple Crops: Agricultural "Modernization" in Pre-Green Revolution India. Agricultural History . Vol. 87(2): 201-223.

21.  Simin, M. T., Jankovic, D. 2014. Applicability Of Diffusion Of Innovation Theory In Organic Agriculture. Ekonomika Poljoprivrede. Vol. 61(2): 517-529.

22.  Spyrou, I. M., Karpouzas, D. G., Menkissoglu-spiroudi, U. 2009. Do Botanical Pesticides Alter the Structure of the Soil Microbial Community? Jurnal Microbial Ecology Vol.58(4) : 715-727. DOI: 10.1007/s00248-009-9522-z.


23.  Steinmaier, N., Ngoliya, A. 2001. Potential Of Pasture Legumes In Low-External-Input And Sustainable Agriculture (Leisa). 1. Results From Green Manure Research In Luapula Province, Zambia. Experimental Agriculture Journal. Vol.37(3):297-302.

24.  Szafirowska, A., Elkner, K. 2008. Yielding and Fruit Quality of Three Sweet Pepper Cultivars from Organic and Conventional Cultivation. Vegetable Crops Research Bulletin. 69: 135-143. DOI: 10.2478/v10032-008-0028-x.

25.  Taguiling, L. G. 2013. Quality Improvement Of Organic Compost Using Green Biomass. European Scientific Journal. Vol. 9 (36):319-341.
26.  Teegalapalli K, Gopi G. V., and Prasanna K. S. 2009. Forest recovery following shifting cultivation: an overview of existing research. Journal  Tropical Conservation Science Vol. 2(4): 374-387. 
27.  Teodora. I. 2012. Dynamics Of Agricultural Land, The Park Of Tractors And Agricultural Machinery And The Total Production Obtained South Of Romania During 2005-2010. The Research Institute For Agriculture Economy And Rural Development. International Symposium. Agrarian Economy And Rural Development: Realities And Perspectives For Romania. Proceedings (2012): 170-174.
28.  Thompson. P B. 2012. The Agricultural Ethics of Biofuels: The Food vs. Fuel Debate. Jurnal Agriculture 2012, 2: 339-358. DOI : 10.3390/agriculture2040339.
29.  Turmel, M. S., T. Benjamin L., W. Joann K. 2011. Soil Fertility and The Yield Response to The System Of Rice Intensification. Renewable Agriculture and Food Systems. Vol.26(3): 185-192. DOI : 10.1017/S174217051100007X.

30.  Turmuktini, T.,  Simarmata, T.,  Joy, B., Resmini, A C. 2012. Management of Water Saving and Organic based Fertilizers Technology for Remediation and Maintaining the Health of Paddy Soils and To Increase the Sustainability of Rice Productivity in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Rural Development. Vol.2(4): 2304-1455.

31.  Virginia W. 2001.  Nutritional Quality Of Organic Versus Conventional Fruits, Vegetables, And Grains. The Journal Of Alternative And Complementary Medicine, Vol .7(2): 161–173.

32.  Wang. J., X. Li., J. Zhang., T. Yao., D. Wei., Y. Wang., J. Wang. 2012. Effect of root exudates on beneficial microorganisms evidence from a continuous soybean monoculture. Plant Ecol (2012) 213:1883–1892. DOI : 10.1007/s11258-012-0088-3.
33.  Wang. S. Y., Chi-Tsun C, William S, Chien Y. W, And Mary J. C. 2008. Fruit Quality, Antioxidant Capacity, And Flavonoid Content Of Organically And Conventionally Grown Blueberries.  J. Agric. Food Chem., Vol. 56(14): 5788–5794. Doi: 10.1021/Jf703775r.
34.  Zhou. Y, H. Yang, H.J. Mosler, K. C. Abbaspour.  2010.  Factors affecting farmers’ decisions on fertilizer use: A case study for the Chaobai watershed in Northern China.  The Journal of Sustainable Development Vol. 4(1) : 80–102.
35.  Zoran I. S, Kapoulas N and Sunic L. 2014. Tomato Fruit Quality from Organic and Conventional Production. Journal Science of Food and Agriculture, Vol. 92(14): 2840-2848. DOI: 10.5772/58239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar