KUALITAS
PRODUKSI TANAMAN ORGANIK DAN
PENGGUNAAN
LAHAN BERKELANJUTAN
Muh. Akhsan Akib
Email: akhsanbagus@yahoo.co.id
Abstrak
Pangan
merupakan kebutuhan hidup manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Perkembangan jumlah penduduk membuat pangan yang semula hanya dicari dari
hutan, berupa tanaman atau hewan, semakin lama semakin tidak cukup. Revolusi hijau menghipnotis pelaku pengusaha pertanian untuk terus
meningkatkan produksi, namun dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan, revolusi hijau mendapat kritikan dari pemerhati lingkungan. Tetapi
para pendukung revolusi hijau berpendapat bahwa kerusakan dipandang bukan
karena revolusi hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Perdebatan tersebut tidak dapat
dihindari karena keduanya mempnyai landasan yang berbeda, sehingga untuk
menyatukannya disarankan suatu program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU RAMAH
LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian
utama peningkatan kualitas produk pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan
dengan menggunakan berbagai model antara lain: (1). Sistem pertanian organik
(2). Integrated farming atau sistem agroforestri. (3). Pengendalian hama
terpadu, dan (4). LEISA (Low External
Input Sustainable Agriculture). Salah satu faktor lingkungan yang sangat
mendukung keberlajutan suatu produk pertanian adalah lahan. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mencapai penggunaan lahan secara berkelanjutan sebagai bagian
dari pertanian berkelanjutan antara lain: Perbaikan pola tanam, melakukan pemupukan
berimbang, penggunaan pupuk organik. penggunaan pertisida nabati dan agen hayati, melestarikan biologi
tana, penerapan metode S.R.I. (System of Rice
Intensification, dan perbaikan sistem pengolahan
tanah. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa produk buah-buahan yang berasal
dari pertanian organik memiliki kualitas yang lebih baik dari pertanian konvensional.
Katakunci: lahan berkelanjutan, agen hayati, pupuk organik,
biologi tanah, S.R.I. kualitas buah.
Pendahuluan
Pangan
merupakan kebutuhan hidup manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Perkembangan jumlah penduduk membuat pangan yang semula hanya dicari dari
hutan, berupa tanaman atau hewan, semakin lama semakin tidak cukup, Maltus
(1766-1834) cis Thomson (2011)
mengatakan bahwa jika tidak ada pengekangan, maka kecenderungan pertambahan
jumlah manusia akan lebih cepat daripada pertambahan bahan pangan. Perkembangan
jumlah penduduk akan mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan bahan pangan
akan mengikuti deret hitung, Sehingga manusia harus melakukan budidaya tanaman
atau hewan untuk memenuhi ketersediaan pangan.
Berbagai upaya yang dilakukan dalam
budidaya tanaman agar kebutuhan pangan tercukupi tanpa memperhatikan dampak
lingkungan, antara lain: pembukaan lahan secara
berpindah-pindah dengan system bakar (shifting
cultivation, slash and
burn agriculture,
swidden agricultur) (Osman et al, 2013), penggunaan benih unggul (Dongyang
et al, 2014), penggunaan pupuk anorganik (Zhou et al, 2010), penggunaan perstisida sintetik ( ), penggunaan alat-alat mekanisasi pertanian (Teodora, 2014), dan penerapan
pertanaman monokultur (Wang et al.
2012).
Peningkatkan produksi pangan
tercapai dalam pelaksanaan suatu program yang sangat terkenal dengan nama “REVOLUSI
HIJAU”, revolusi hijau mengubah status Indonesia dari Negara pengimpor beras
terbesar di dunia menjadi Negara pengekspor beras terbesar di dunia (Maruyama
et al, 2014) dan
mencapai swasembada pangan pada tahun 1983 (Mariyono. 2009).
Revolusi hijau menghipnotis pelaku
pengusaha pertanian untuk terus meningkatkan produksi, namun dengan
meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan, revolusi hijau mendapat
kritikan dari pemerhati lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang parah (Saha, 2013). Tetapi para pendukung revolusi hijau berpendapat bahwa
kerusakan dipandang bukan karena revolusi hijau tetapi karena akses dalam
penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Perdebatan
tersebut tidak dapat dihindari karena keduanya mempunyai landasan yang berbeda, sehingga untuk
menyatukannya disarankan suatu program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU
RAMAH LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian utama peningkatan kualitas produk
pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan.
Sistem Pertanian
Berkelanjutan.
Sistem pertanian berkelanjutan dapat
dilaksanakan menggunakan berbagai model antara lain: (1). Sistem pertanian organik
(Simin dan Jankovic, 2014) yang merupakan sistem produksi pertanian yang
menjadikan bahan organik sebagai faktor utama dalam proses produksi usahatani;
(2). Integrated farming (Desai et al,
2013) atau sistem agroforestri (Djoko et
al. 2013) terbentuk atas tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, dan
peternakan. Kombinasi komponen – komponen tersebut menghasilkan bentuk
agrisilvikultur (kehutanan + pertanian), silvopastura (kehutanan + peternakan),
dan agrosilvopastura (kehutanan + pertanian + peternakan) (Buhari dan Febryano.
2009); (3). Pengendalian hama terpadu (Integrated pest management) yang merupakan suatu teknologi
pengendalian hama yang bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas pengendalian
secara biologi dan budaya (Molly et al,
2011); (4). LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) adalah
pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia setempat/lokal,
layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, sesuai dengan budaya, adil
secara sosial, dan input luar hanya sebagai pelengkap (SteinmaierNgoliya
Upaya Mencapai Penggunaan
Lahan Berkelanjutan.
Salahsatu faktor yang sangat
menentukan kegitan pertanian berkelanjutan adalah penggunaan lahan, beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk mewujutkan penggunaan lahan yang berkelanjutan,
antara lain:
Perbaikan
Pola Tanam
Pola
tanam merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun,
termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Pola tanam diterapkan dengan tujuan
memanfaatkan sumber daya secara optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan.
Namun yang penting persyaratan tumbuh antara kedua tanaman atau lebih terhadap
lahan hendaklah mendekati kesamaan.
Pola
tanam dalam kegitan pertanian terbagi dua, yaitu: Pertanian dengan pola tanam monokultur,
yang menanam tanaman sejenis dengan tujuan penanaman meningkatkan produksi satu jenis komoditi pertanian;
dan pertanian dengan pola tanam polikultur, yang menanam lebih banyak jenis
tanaman pada satu bidang lahan yang tersusun dan terencana dengan
menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik, dengan pemilihan tanaman yang tepat, sistem ini dapat
memberikan beberapa keuntungan, salahsatunya menambah kesuburan
tanah.
Omid
(2014) menyatakan bahwa sistem tumpangsari legum memainkan
peran penting dalam pemanfaatan sumber
daya yang efisien. Sistem tanam tumpangsari legum-cereal lebih produktif dan menguntungkan
dibandingkan dengan sistem tanam soliter (monokultur)
. Ketersedian dayadukung pertumbuhan seperti cahaya, air dan nutrisi,
diserap dengan baik dan dikonversi menjadi biomassa oleh
tanaman pada
pola tanam tumpangsari sebagai akibat
dari perbedaan kemampuan kompetitif pemanfaatan
faktor
pertumbuhan antar komponen tanaman intercrop.
Melakukan Pemupukan Berimbang
Pemupukan
berimbang merupakan pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara
esensial seimbang dan optimum dalam tanah untuk meningkatkan produksi dan mutu
hasil pertanian, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari
pencemaran lingkungan. Jenis hara tanah yang sudah mencapai
kadar optimum atau status tinggi, tidak perlu ditambahkan lagi, kecuali sebagai
pengganti hara yang terangkut sewaktu panen.
Hasil
penelitian Rozas et al (2004) menunjukkan
bahwa pencucian NO-3-N akan menjadi mekanisme kehilangan N yang penting dalam
sistem tanam jagung NT (No-Tillage) di Propinsi Buenos Aires. Produksi biji,
serapan N, dan NUE (efesiensi penggunaan N) meningkat, ketika N diaplikasikan
sebelum kebutuhan tanaman mencapai maksimal, karena menekan pencucian N dan kehilangan
dalam bentuk gas, suatu aspek penting dari sudut pandang (standpoint) lingkungan dan ekonomi.
Penggunaan pupuk organik.
Pupuk
organik merupakan pupuk yang tersusun dari materi makhluk
hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan, organik dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik
mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik
dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan,
tongkol jagung,
bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang
menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).
Hasil penelitian (2013) menunjukkan bahwa,
pengayaan pupuk kompos sisa tanaman dengan biomassa hijau secara bertahap, khususnya yang dibuat pada perbandingan 3:3 dan 3:2 (kombinasi sisa tanaman - biomassa hijau) memberikan peningkatan
yang signifikan terhadap kandungan nftrogen, Fosfor, kalium, persentase bahan organik, dan pH pada pupuk kompos. Hasil lebih lanjut mengungkapkan bahwa
penggunaan pupuk kompos sisa tanaman yang diperkaya dengan
bimassa hijau,
secara
signifikan mendorong pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman, jumlah daun, ukuran
daun, jumlah tunas,
dan berat total biomassa
tanaman segar.
Turmuktiniroduksi padi di Indonesia didominasi dari sistem genangan atau penggenangan
permanen. Intensifikasi sistem
genangan tanah sawah tidak hanya mengurangi kekuatan sifat biologi tanah
secara signifikan, tetapi juga membatasi pertumbuhan akar. Berbagai studi
lapangan menunjukkan bahwa
sebagian besar
tanah sawah di Indonesia memiliki kandungan organik rendah (<2%). Manajemen
kesehatan tanah sawah sangat diperlukan untuk memulihkan, meningkatkan dan
mempertahankan bahan organik tanah sebagai jantung ekosistem tanah. SOBARI (system of rice intensification aerobik
berbasis organik) sebagai teknologi hemat air dikombinasikan dengan kompos
jerami berbasis teknologi pupuk memiliki dua tujuan utama: (1) untuk memulihkan
atau mengembalikan, memperbaiki dan menjaga kesehatan dan kualitas tanah sawah,
dan (2) untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan (air yang
efisien dan penggunaan pupuk). Hasil penelitian lapangan dengan menggunakan beberapa
varietas padi di Indonesia,
bahwa teknologi
hemat air yang dikombinasikan
dengan pupuk organik (kompos jerami) dapat menghasilkan hasil gabah sekitar 8-12
ton.ha-1 (rata-rata
peningkatan sekitar 50-150% dibandingkan dengan budidaya padi anaerob), irigasi air
berkurang sekitar 30- 50%, dan pupuk
anorganik berkurang sekitar
25%. Hasil beras yang
tinggi sangat berkorelasi dengan meningkatnya zona akar sekitar 4-10 kali,
jumlah anakan produktif berkisar 60-80 anakan,
jumlah malai, panjang malai dan jumlah gabah per malai
meningkat karena peningkatan
keanekaragaman hayati tanah. Penggunaan jerami atau kompos jerami ke tanah sawah dalam waktu
tiga tahun
diharapkan dapat memulihkan dan meningkatkan
kesehatan tanah sawah yang rusak secara signifikan.
Penggunaan Pertisida
Nabati dan Agen Hayati.
Pengendalian hayati ramah lingkungan
merupakan pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan
memanfaatkan bagian-bagian tanaman (pestisida nabati) seperti rimpang jahe, daun mimba, buah cabe, dan daun
sambiloto; dan musuh-musuh alami dari
hama (agen pengendali biologi) seperti predator, parasit dan patogen.
Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan
memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian,
biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh alami yang
dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian alami merupakan proses
pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada
proses perbanyakan musuh alami.
Spyrou
et al (2009) melakukan studi
laboratorium dan lapangan untuk menyelidiki pengaruh dari pestisida sintetis
(metham natrium [MS], natrium tetrathiocarbonate [SoTe], dan fosthiazate) dan
pestisida nabati (azadirachtin, Quillaja, dan Pulverized Melia azedarach fruits
[PMF]) terhadap komunitas mikroba tanah dengan menggunakan analisis asam lemak
fosfolipid (PLFA). Disimpulkan bahwa secara umum (baik dilaboratorium maupun
dilapangan), pestisida nabati, pada dosis yang dianjurkan, tidak mengubah
struktur komunitas mikroba tanah dibandingkan dengan pestisidah sintetis yang menyebabkan
perubahan yang signifikan.
Charilaos (2009), juga mengatakan input bahan organik
(jaringan segar Brassica, kompos limbah
rumah tangga dan kompos kotoran sapi) secara signifikan menekan tingkat
serangan penyakit soil-borne (diukur
dari peningkatan bobot segar root) dan/atau meningkatkan hasil buah tomat. Aktivitas biologis tanah juga
meningkat dengan meningkatnya level input bahan organik dan
ada korelasi positif yang
signifikan antara aktivitas biologis tanah, berat segar akar
dan produksi buah. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu
mekanisme pengendalian penyakit soil-borne adalah melalui input bahan organik
yang dapat meningkatkan kompetisi biota tanah.
Melestarikan
Biologi Tanah.
Cacing
tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam
penyediaan unsur hara. Cacing tanah akan meremah-remah substansi nabati yang
mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran (Rahmawaty,
2004). Muys dan Granval (1997) mengatakan bahwa cacing tanah dapat
dipertimbangkan sebagai indikator yang tepat bagi penggunaan lahan dan kesuburan
tanah, serta indikator kualitas lahan
Laossi et al
(2010) melakukan percobaan mikrokosmos rumah
kaca, untuk mengetahui respon tanaman (Veronica persica, Trifolium dubium dan Poa annua) terhadap
dua spesies cacing
tanah (dikombinasikan atau tidak) yang tergabung dalam kelompok yang berbeda (Aporrectodea caliginosa spesies endogeic, dan Lumbricus terrestris spesies anecic) dan diukur dalam akumulasi biomassa.
Respon ini dibandingkan
pada
dua jenis perlakuan tanah (kaya unsur hara dan miskin
unsur hara) dan dua jenis
perlakuan pemupukan mineral (dengan
pemupukan dan tanpa
pemupukan).
Akhir
penelitian menunjukkan, bahwa ditemukan interaksi yang
signifikan antara cacing tanah anecic dan cacing tanah endogeic,
dan interaksi ini tidak
tergantung pada jenis tanah. Sebuah gambaran bahwa cacing tanah
sebagian besar meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui peningkatan
mineralisasi, dan efek cacing tanah menurun pada tanah kaya
nutrisi atau dengan pemupukan mineral.
Penerapan Metode S.R.I. (System of Rice Intensification).
Budidaya tanaman padi organik yang
dilakukan secara intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran
yang berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan air merupakan sistem budidaya
metode SRI. Turmel (2011) mengatakan bahwa keunggulan produksi
SRI dibandingkan sistem
konvensional sangat besar, dan belum dipahami secara bersama
dan telah menjadi subyek
perdebatan yang cukup besar, karena
kurangnya pemahaman mechanistic.
Suatu
hasil meta-analisis data dari 72 penelitian lapangan yang
menbandingkan SRI dengan sistem konvensional,
menunjukkan bahwa produksi
meningkat
secara signifikan (P <0,0001) ketika
SRI diterapkan pada tanah
yang mengandung pelapukan
bahan organik dan kaya akan zat besi dan aluminium oksida (akrisol
dan Ferralsols),
perbedaan
hasil antara produksi padi konvesional dan SRI tampaknya berhubungan dengan
sifat-sifat tanah yang terkait dengan pelapukan. Hal ini akan membantu
menyelesaikan perdebatan tentang nilai SRI dan memungkinkan penelitian yang
akan datang untuk memahami proses biologi dan kimia tanah pada manajemen SRI.
Sistem
Pengolahan Tanah
Sistem pengolahan tanah pertanian
dapat dibagi menjadi enam jenis pengolahan, yaitu: (1). Pengolahan tanah
tereduksi, meninggalkan antara 15 hingga 30% residu tanaman untuk tetap berada
di lahan pertanian; (2). Pengolahan tanah intensif, meninggalkan kurang dari
15% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian. (3). Pengolahan tanah
konservasi, meninggalkan setidaknya 30% residu tanaman untuk tetap berada di
lahan pertanian. (4).Pengolahan tanah berlajur (strip-tillage) hanya membajak
lajur yang akan ditanam, bagian di antara lajur dibiarkan. (5). Pengolahan
tanah rotasi, hanya mengolah tanah secara periodik, yaitu setiap dua tahun
sekali atau tiga tahun sekali. (6). Tanpa pengolahan tanah, berarti sama sekali
tidak menggunakan bajak. Residu tanaman yang ditanam pada periode sebelumnya
dibiarkan mongering (Danial dan Paul, 2000).
Lebih lanjut Danial dan Paul (2000),
mengemukakan bahwa di Amerika Serikat sejak tahun 1997, sistem pengolahan tanah
konservasi semakin banyak digunakan karena menghemat banyak waktu, energi,
tenaga kerja, dan biaya. Selain itu, pengolahan tanah konservasi berarti
semakin sedikit mesin pertanian yang bergerak di atas lahan pertanian sehingga
mencegah pemadatan tanah.
Buman et al (2005), merangkum hasil penelitian skala lapangannya yang
dilakukan pada 12 Pusat Situs Excellence di tujuh negara dari tahun 1998 sampai
2002. Penelitian ini mengevaluasi produksi kapas pada lahan tanpa olah tanah,
pengolahan strip, pengolahan minimum
dan pengolahan tanah konvensional. Perbedaan antara sistem pengolahan dalam
sebuah situs tidak menunjukkan efek yang signifikan pada indikator kualitas
tanah, dan menyimpulkan agar para
petani, konsultan tanaman, dan yang lainnya, harus hati-hati mempertimbangkan
keuntungan secara keseluruhan dan tidak hanya keuntungan produk panen ketika
mengevaluasi praktek persiapan lahan alternatif.
Kualitas Produk Pertanian Ramah
Lingkungan
Ditinjau dari sisi kualitas, produk
pertanian modern sekarang ini memiliki kualitas yang rendah, hal ini akibat
penggunaan pestisida sintetik dan pupuk anorganik yang tidak terkontrol
sehingga residu produk sintetik mencemari hasil panen pertanian yang memberi
dampak negative terhadap kesehatan. Beberapa peneliti mengukapkan bahwa produk
pertanian organik memiliki kualitas yang lebih baik dibanding kualitas produk
pertanian konvensional.
Szafirowska dan Elkner (2008)
melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh kultivar dan sistem pertanian
yang berkembang (organik vs konvensional) terhadap produksi, morfologi buah dan kandungan
antioksidan buah paprika (Capsicum annum
L.) Hasil penelitian menunjukkan respon yang baik pada sistem budidaya tanaman
paprika
secara organik, harga buah lebih tinggi, karakter morfologi lebih baik
dan kandungan vitamin C, total beta-carotene dan polyphenol lebih tinggi dibanding buah
paprika yang berasal dari sistem pertanian konvensional.
et al (2010) juga menyimpulkan hasil
temuannya bahwa pertanian strawberry organik menghasilkan kualitas buah yang
lebih tinggi dan memiliki tanah yang lebih berkualitas, yang memungkinkan kemampuan fungsional mikroba dan ketahanan terhadap stres lebih besar.
Demikian pula Wang et al
(2008) yang meneliti pengaruh praktek budidaya terhadap
kualitas buah dan kapasitas
antioksidan pada highbush
blueberry var. Bluecrop (Vaccinium corymbosum L.) di
New Jersey. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa buah blueberry
yang
berasal dari praktek pertanian organik menghasilkan gula (fruktosa dan glukosa), asam malat, jumlah fenolat, jumlah
anthocyanin, dan aktivitas
antioksidan (ORAC) secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan buah dari praktek
pertanian konvensional.
Zoran et al (2014) juga mengatakan perbedaan
yang signifikan antara produk tomat yang ditanam dalam sistem organik. Tomat
organik mengandung carotenoid, mineral (P, K, Mg, Ca) yang lebih tinggi,
mengandung sangat sedikit logam berat (Pb, Zn, Cu, Ni), mengandung lebih
sedikit nitrat (sekitar 30-40% lebih sedikit), dan tidak mengandung residu
pestisida.
Virginia (2001) melakukan survey
leteratur mengenai kandungan kualitas gizi buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian organik versus konvensional,
dan menyimpulkan bahwa tanaman organik mengandung vitamin C, zat
besi, magnesium, dan fosfor signifikan lebih tinggi, dan mengandung nitrat
secara signifikan lebih rendah dari tanaman konvensional. Ada pula kecenderungan
yang tidak signifikan menunjukkan kandungan protein lebih rendah tetapi
kualitas dan kandungan mineral gizi signifikan lebih baik dan lebih tinggi,
dengan jumlah beberapa logam berat yang lebih rendah pada tanaman organik dibanding
pada tanaman konvensional. Chen (2005) menegaskan bahwa produk organik berpotensi lebih
menguntungkan, dan jelas tidak lebih
berbahaya dibandingkan produk
konvensional untuk kesehatan konsumen.
Kesimpulan
Peningkatan
produksi dari sisi kuantitas telah berhasil dicapai dalam program revolusi
hijau, namun meninbulkan efek kerusakan lingkungan. Dibutuhkan suatu program penyempunaan yaitu REVOLUSI HIJAU
RAMAH LINGKUNGAN (ROJARLI) dengan perhatian utama peningkatan kualitas produk
pangan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan
menggunakan berbagai model antara lain: (1). sistem pertanian organik (2).
Integrated farming atau sistem agroforestri. (3). Pengendalian hama terpadu,
dan (4). LEISA (Low External Input
Sustainable Agriculture). Salah satu faktor lingkungan yang sangat
mendukung keberlajutan suatu produk pertanian adalah lahan. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mencapai penggunaan lahan secara berkelanjutan sebagai bagian
dari pertanian berkelanjutan antara lain: perbaikan pola tanam, melakukan
pemupukan berimbang, penggunaan
pupuk organik. penggunaan pertisida nabati dan agen hayati,
melestarikan biologi tanah, penerapan metode S.R.I. (System of Rice
Intensification)
dan sistem pengolahan tanah. Beberapa
peneliti menyimpulkan bahwa produk buah-buahan yang berasal dari pertanian
organik memiliki kualitas yang lebih baik dari pertanian konvensional dan tidak
berbahaya untuk kesehatan konsumen.
Daftar Pustaka
1. Bukhari and I. G. Febryano. 2009. Design of Agroforestry in Critical Land: Case Study in Indrapuri Subdistrict, Aceh Besar District. Journal Perennial,Vol. 6(1) : 53-59.
Buman, R AAlesii, B ABradley, J FHatfield, J LKarlen, D LProfit and yield
of tillage in cotton production systems. Journal of Soil and Water Conservation
3.
CharilaosMarkelou, ETheodoropoulou,
AToufexi, EHodson, R Effect Of Soil
Amendments And Biological Control Agents (Bcas) On Soil-Borne Root Diseases
Caused By Pyrenochaeta Lycopersici And Verticillium Albo-Atrum In Organic
Greenhouse Tomato Production Systems. European Journal of Plant Pathology
123(4)
10.1007/s10658-008-9376-0.
4.
Chen
M. C. 2005. Organic Fruits and
Vegetables: Potential Health Benefits and Risks. Journal Nutrition
Noteworthy, Vol. 7(1): 1-5.
5.
Christine AX. YingenM. C. Cara MS. Arthur WH. Rebecca HChoosing Organic
Pesticides over Synthetic Pesticides May Not Effectively Mitigate Environmental
Risk in Soybeans: e11250. Jur. PloS One10.1371/journal.pone.0011250. 5(6):1-7.
DOI:
6.
Daniel.
W And Paul. J. 2000. Conservation Tillage
In The United States: An Overview. International
Symposium On Conservation Tillage , January 24-27, 2000. Mazatlan, Mexico.
7. DjokoS. S. MakmurB. SriSolar Radiation in Agroforestry System. Journal of Agricultural Science and Technology. Vol. 3(8)
DongyangT. WenbangX. ZhijianL. HaiC. LiyunSolutions to Insecurity Problems
in Seed Production of Two-line Hybrid Rice. Journal Agricultural Science & Technology
9.
Ganesh R. N, Avinash B and Suman M. 2011. Effect of Chemical
Fertilizers on Water Quality of Irrigation Reservoir (Kaliasote Reservoir) of
Bhopal (M.P.). Journal Current World
Environment Vol.
6(1): 169-172.
Laossi, KG. AmandineN. D. CristinaB. ManuelB. SébastienEarthworm
Effects On Plant Growth Do Not Necessarily Decrease With Soil Fertility. Journal Plant
and Soil
328 (1-2)
11. Marais, A. M.
Hardy, M. Booyse, and A. Botha. 2012. Effects
of Monoculture, Crop Rotation, and Soil Moisture Content on Selected Soil
Physicochemical and Microbial Parameters in Wheat Fields. Journal Applied
and Environmental Soil Science Vol. 2012 (2012): 13 pages. DOI: 10.1155/2012/593623.
12. Mariyono. J.
2009. Technological and Institutional
Changes in the Indonesian Rice Sector: From Intensification to Sustainable
Revitalization. Asian Journal of Agriculture and Development,
Vol. 6(2): 125:144.
13. Maruyama, A., Y. Haneishi., S. E. Okello., G. Asea., T. Tsuboi., M.
Takagaki., M. Kikuchi. 2014. Rice Green Revolution and Climatic Change in
East Africa: An Approach from the Technical Efficiency of Rainfed Rice Farmers
in Uganda. Agricultural Sciences (2014) 5: 330-341.
14. MollyD. NicoleF. Rebecca EAssessing Integrated Pest Management Adoption: Measurement Problems and Policy Implications. Environmental Management Jurnal48(5) 10.1007/s00267-011-9737-x
15.
Muys,
B. and P.H. Granval. 1997. Earthworms As
Bio-Indicators Of Forest Site Quality.
Journal of soil Biol.
Biochem. 29:323-328. DOI:10.1016/S0038-0717(96)00047-8.
OmidK. MotahareD. SimaR. M. MahdiEvaluation Of Intercropping System On Weed Management, Forage Quality, Available Of Nitrogen and Resource Use. International Journal of Agriculture and Crop Sciences
17.
Osman,
K. S, M. Jashimuddin, S. M. Sirajul Haque . Sohag Miah. 2013. Effect
of Shifting Cultivation On Soil Physical and Chemical Properties In Bandarban
Hill District, Bangladesh. Journal
of Forestry Research, Vol. 24(4): 791-795. DOI 10.1007/s11676-013-0368-3.
18.
Reganold,
J P., Preston K. A., Jennifer R. R., Lynne C-B., Christopher W. S., Richard A.
J., Carolyn F. R., Neal M. D., Jizhong Z. 2010. Fruit and Soil Quality of Organic and Conventional Strawberry
Agroecosystems. Jurnal PLoS ONE Vol.
5(9). e12346. DOI : 10.1371/journal.pone.0012346.
19. Rozas. S., Hernán R., EcheverrÃa, Hernán E.,Barbieri, Pablo A. 2004. Nitrogen Balance as Affected by Application Time and Nitrogen Fertilizer Rate in Irrigated No-Tillage Maize. Agronomy Journal. Vol. 96(6): 1622-1631.
Saha, M. 2013. The State, Scientists, and Staple Crops: Agricultural "Modernization" in Pre-Green Revolution India. Agricultural History . Vol.
Simin, M. TJankovic, DApplicability Of Diffusion Of Innovation Theory In Organic Agriculture. Ekonomika Poljoprivrede. Vol. 61(2): 517-529.
22. Spyrou, I. MKarpouzas, D. GMenkissoglu-spiroudi, UDo Botanical Pesticides Alter the Structure of the Soil Microbial Community? Jurnal Microbial Ecology Vol.58(4) 10.1007/s00248-009-9522-z.
23. Steinmaier, NNgoliya, APotential Of Pasture Legumes In Low-External-Input And Sustainable Agriculture (Leisa). 1. Results From Green Manure Research In Luapula Province, Zambia. Experimental Agriculture 37(3)
24. Yielding and Fruit Quality of Three Sweet Pepper Cultivars from Organic and Conventional Cultivation. DOI: 10.2478/v10032-008-0028-x.
25.
Quality
Improvement Of Organic Compost Using Green Biomass.
26.
Teegalapalli K, Gopi G. V., and Prasanna K. S. 2009.
Forest recovery following shifting
cultivation: an overview of existing research. Journal Tropical Conservation Science Vol. 2(4):
374-387.
TeodoraDynamics Of Agricultural Land, The Park Of Tractors
And Agricultural Machinery And The Total Production Obtained South Of Romania
During 2005-2010.
The Research Institute For Agriculture Economy And Rural Development.
International Symposium. Agrarian Economy And Rural Development: Realities And
Perspectives For Romania. Proceedings
28. Thompson. P B. 2012. The Agricultural
Ethics of Biofuels: The Food vs. Fuel
Debate. Jurnal Agriculture 2012, 2:
339-358. DOI : 10.3390/agriculture2040339.
Turmel, M. ST. Benjamin LW. Joann KSoil Fertility
and The Yield Response to The System Of Rice Intensification. Renewable Agriculture and Food Systems
26(3):
10.1017/S174217051100007X.
30. Turmuktini, TSimarmata, TJoy, BResmini, A CManagement of Water Saving and Organic based Fertilizers Technology for Remediation and Maintaining the Health of Paddy Soils and To Increase the Sustainability of Rice Productivity in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Rural Development2304-1455.
31. Virginia W. 2001. Nutritional Quality Of Organic Versus Conventional Fruits, Vegetables, And Grains. The Journal Of Alternative And Complementary Medicine, Vol .7(2): 161–173.
32.
Wang.
J., X. Li., J. Zhang., T. Yao., D. Wei., Y. Wang., J. Wang. 2012. Effect of root exudates on beneficial
microorganisms evidence from a continuous soybean monoculture. Plant Ecol
(2012) 213:1883–1892. DOI : 10.1007/s11258-012-0088-3.
33.
Wang.
S. Y., Chi-Tsun C, William S, Chien Y. W, And Mary J. C. 2008. Fruit
Quality, Antioxidant Capacity, And Flavonoid Content Of Organically And
Conventionally Grown Blueberries.
J. Agric. Food Chem., Vol. 56(14): 5788–5794. Doi:
10.1021/Jf703775r.
34.
Zhou.
Y, H. Yang, H.J. Mosler, K. C. Abbaspour.
2010. Factors affecting farmers’ decisions on fertilizer use: A case study
for the Chaobai watershed in Northern China. The
Journal of Sustainable Development Vol. 4(1) : 80–102.
35.
Zoran
I. S, Kapoulas N and Sunic L. 2014. Tomato Fruit Quality from Organic and
Conventional Production.
Journal Science of Food and Agriculture, Vol. 92(14): 2840-2848.
DOI: 10.5772/58239.